Jumat, 03 Februari 2012

filsafat dan teologi

Filsafat dan Teologi

Istilah teologi, dalam bahasa Yunani adalah “theologia”. Istilah yang berasal dari gabungan dua kata “theos, Allah” dan “logos, logika”. Arti dasarnya adalah suatu catatan atau wacana tentang, para dewa atau Allah. Bagi beberapa orang Yunani, syair-syair seperti karya Homer dan Hesiod disebut “theologoi”. Syair mereka yang menceritakan tentang para dewa yang dikategorikan oleh para penulis aliran Stoa (Stoic) ke dalam “teologi mistis”. Aliran pemikiran Stois yang didirikan oleh Zeno (kira-kira 335-263 sM.) memiliki pandangan “teologi natural atau rasional”, yang disebut oleh Aristoteles, dengan istilah “filsafat teologi”, sebutan yang merujuk kepada filsafat teologi secara umum atau metafisika.
Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.
Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata “sama” itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tata nilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.
Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: “aku tahu kepada siapa aku percaya” (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur “intellectus quaerens fidem” (akal menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.
Meski dalam hal-hal tertentu terjadi hubungan timbal balik yang cukup baik antara teologi dan filsafat, bukan berarti keduanya bisa terus berjalan harmonis. Yang sering muncul justru perbedaan-perbedaan, ketegangan dan pertentangan, bahkan itu terjadi sejak awal. Setidaknya ini bisa dilihat pada perdebatan antara antara Abu Sa`id al-Syirafi (893-979 M) seorang teolog Muktazilah dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M), guru filsafat al-Farabi yang beraliran Nestorian, sebagaimana yang dikemukakan Oliver Leaman, adalah bukti nyata akan hal itu, meski isi perdebatan tersebut sebenarnya baru menyangkut persoalan bahasa dan logika.
Ketegangan teologi dan filsafat semakin kentara dan menonjol ketika pada masa al-Farabi yang ahli filsafat paripatetik menempatkan teologi (juga yurisprodensi) pada rangking bawah setelah ilmu-ilmu filsafat, dalam hierarki ilmu yang disusunnya. Al-Farabi menyusun hierarki ilmunya terdiri atas ilmu-ilmu filsafat; metafisika, matematika, ilmu-ilmu fisika /kealaman dan ilmu politik. Teologi dan fiqh ditempatkan dalam urutan paling bawah dan sebagai su-bagian ilmu politik. Alasannya, secara metodologis, pengambilan kesimpulan teologi tidak didasarkan atas prinsip-prinsip logika yang benar dan teruji secara rasional, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan. Atau, menurut al-Farabi, teologi tidak bisa memberi pengetahuan yang menyakinkan, tapi baru pada tahap mendekati keyakinan, sehingga ia hanya cocok untuk konsumsi masyarakat awam, masyarakat non-filosofis dan bukan selainnya.
Penempatan posisi dan serangan yang dilakukan al-Farabi sebagai ahli filsafat terhadap teologi ini memberikan dampak serius bagi perkembangan kedua kelompok pemikiran diatas, minimal telah menaikan pamor filsafat dalam percaturan pemikiran Islam yang sebelumnya masih dicurigai dan diabaikan. Kenyataannya, klasifikasi dan hierarki ilmu al-Farabi ini banyak dianut dan berpengaruh besar pada tokoh filsafat berikutnya, seperti Ibn Sina (980-1037 M), Ibn Tufail (w. 1186 M) dan Ibn Rusyd (1126-1198), dan Ibn Khaldun (1332-1406). Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun membagi ilmu-ilmu menjadi dua bagian; ilmu-ilmu rasional (al-`ulûm al-aqliyah) dan ilmu-ilmu religius (al-`ulûm al-naqliyah). Yang termasuk ilmu rasional adalah logika, matematika, fisika dan metafisika, sedang bagian ilmu religius adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqh, teologi, tasawuf dan tabir mimpi. Disini, teologi hanya lebih baik daripada tabir mimpi dan tasawuf dimana yang disebut dua terakhir ini lebih merupakan bentuk keahlian dan implementasi daripada sebuah ilmu.
Puncak ketegangan teologi dan filsafat terjadi pada masa al-Ghazali (1058-1111 M), yakni ketika ia sebagai wakil kaum teolog (mutakallimîn) menyerang pemikiran filsafat, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M), lewat tulisannya dalam Tahâfut al-Falâsifat yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlalâl. Meski isi serangan tersebut lebih diarahkan pada persoalan metafisika daripada logika, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam penjabaran ajaran-ajaran agama, bahkan bidikan al-Ghazali sebenarnya lebih tepat diarahkan pada pemikiran filsafat Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM), bukan metafisika Islam sendiri, sehingga tuduhannya terhadap pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina tidak tepat, tetapi serangan tersebut telah memberikan dampak dan gaung yang demikian besar dalam soal hubungan teologi dan filsafat. Masyarakat muslim menjadi antipati terhadap pemikiran filsafat.
 
 Historis/Ketegangan Teologi-Filsafat 
keikutsertaan dan kesetiaan secara total dari segenappengikutnya. Artinya, agama berkaitan erat dengan emosi, untuktidak mengatakan berhubungan erat dengan rasio. Kesetiaanterhadap agama adalah bentuk keputusan dan pilihan yangsangat kental. Seorang agamawan yang baik selalu menunjukkandedikasi yang tinggi dan sanggup berkorban demimempertahankan prinsip dan mencapai tujuan yang dianggapsebagai perintah agama.Karena itu, sikap dan pertimbangan rasional sertapemikiran yang sedikit mengambil jarak dari agama yangdipeluknya akan dianggap sebagai pengerdilan terhadappengalaman keberagamaan yang seharusnya dimiliki. Karena itupula, mengikuti Amin Abdullah,
tidak salah jika dikatakanbahwa ‘bahasa’ yang digunakan oleh pemeluk agama dalammenjelaskan ajaran-ajaran agamanya adalah bahasa ‘pelaku’atau ‘pemain’ (aktor), bukan bahasa seorang pengamat ataulebih-lebih bahasa seorang peneliti yang datang dari luar(spectator). Sementara itu, dalam model pemikiran filsafat,karena tuntutan rasionalitas dan bersifat terbuka serta tidakadanya kesetiaan secara total kecuali kepada kebenaran rasio, iabisa ‘mengambil jarakdengan --ajaran-- agama, atau bahkan‘keluar’ dari dirinya sendiri.
D. Penutup.
Melihat uraian diatas bisa disampaikan,
 pertama
, bahwapemikiran rasionalisme Islam benar-benar berakar pada ajarandan kebutuhannya sendiri. (1) Adanya perkembangan logikabahasa (
nahw
) untuk memahami bahasa al-Qur`an, (2) adanyaperkembangan pemikiran hokum (
fiqh
) untuk menjawabpersoalan hukum dalam masyarakat, (3) adanya perkembanganpemikiran teologi untuk menjawab persoalan-persoalan akidah. Tiga faktor ini memberikan pilar bagi bagunan rasionalismeIslam. Filsafat dan logika Yunani datang ‘menyempurnakan’ tatapemikiran yang telah ada.
Kedua
, bahwa ketegangan yang terjadi antara teologi danfilsafat adalah disebabkan oleh beberapa faktor.
1.
Adanya perbedaan dalam memahami makna dari sebuahistilah yang di gunakan. Sebagaimana dikatakan al-Hamadani,
setiap kelompok atau aliran pemikiran, seperti
24
Amin Abdullah,
Teologi dan Filsafat 
, 271.
25
Al-Hamadani,
 Apologi Sufi Martir 
, terj. dari bahasa Inggris oleh Jabar Ayoeb dan dari bahasa Persia ke Inggris oleh Arberry, (Bandung, Mizan, 1987), 48. al-Hamadani adalah salah satutokoh pemikir falsafat-mistik yang menjadi korban ketegangan dan polemik antara mistik dan ahlifiqh karena adanya kesalahfahaman atas istilah-istilah yang digunakan diantara keduanya. Bukuini ditulis sebagai esepsi pembelaannya didepan pengadilan yang kemudian menjatuhkan hukumanmati terhadapnya pada 7 Mei 1131 M.9
 
 Historis/Ketegangan Teologi-Filsafat 
teologi, filsafat, tasawuf, fiqh dan seterusnya mempunyaiistilah-istilah teknis tersendiri, dimana istilah-istilah yangdigunakan tersebut bisa jadi sama tetapi mempunyai maknayang berbeda sesuai dengan yang dimaksud oleh sipembicara. Karena itu, seseorang dari golongan tertentu tidakbisa langsung mengklaim atau memberikan makna tentangsebuah istilah sebelum meminta penjelasan secara baikkepada si empunya istilah. Menjatuhkan keputusan terhadappembicara sebelum meminta penjelasan tentang apa yangdimaksudkan berarti sama dengan menembak dalamkegelapan, hanya membuat keonaran. Ketegangan antarateologi dan filsafat --juga ketegangan diantara kelompok yanglain, seperti tasawuf dengan fiqh, mazhab fiqh yang satudengan yang lain dan seterusnya-- rupanya disulut olehpersoalan ini; tidak adanya sikap
tabayun
terlebih dahulusebelum diambil keputusan. Serangan al-Ghazali terhadapfilosof karena istilah ‘qadim’ pada alam adalah bukti nyataakan hal itu.
2.
Adanya kecenderungan atau tuntutan yang berbeda. Harusdifahami, saling serang diantara para tokoh filsafat danteologi terjadi pada masa dan kondisi zaman yang berbeda.Sebagai contoh, al-Farabi menyerang pemikiran teologi danmengunggulkan filsafat karena saat itu ada
trend
besar diDamaskus dan Aleppo, tempat al-Farabi tinggal, adalahpemikiran filsafat. Sebaliknya, pada masa al-Ghazali, teologi(Asy`ari) sedang berada puncak kebesarannya sedang filsafatbanyak disalah-gunakan oleh oknum-oknum yang tidakbertanggungjawab. Apa yang dilancarkan al-Ghazali terhadapfilsafat, salah satu tujuannya adalah untuk menghindarkanagama dari dampak buruk ulah oknum tersebut,
bukansemata untuk menghancurkan filsafat.
3.
Adanya campur tangan penguasa. Meski statemen ini masihpatut dikaji lebih jauh, tetapi harus pula difahami bahwatokoh-tokoh kedua golongan ini, seperti al-Farabi dan al-Ghazali, sama-sama hidup dalam lingkungan istana,setidaknya mendapat dukungan kekuasaan. al-Farabi hidupdalam lingkungan istana yang gandrung pemikiran filsafatsedang al-Ghazali dekat dengan faham teologi Sunni. Bahkan,al-Ghazali mengakui bahwa kajian dan tulisan yang dilakukanterhadap ajaran Batiniyah, misalnya, adalah demi memenuhipermintaan khalifah Baghdad.
Begitu pula yang dilakukan al-
26
Lihat al-Ghazalii,
 Al-Munqid 
, 88. Tentang kondisi pada masa al-Farabi, Lihat OsmanBakar,
 Hierarki ilmu
, 26-47.
27
Al-Ghazalii,
Al-Munqid 
, 57. Hal yang senada juga pernah dilakukan oleh Ibn Sina ketikamenulis
 Danisynama-yi alaihi
, untuk memenuhi permintaan Sultan Al-Daulah. Dalam sejarah, banyak buku-buku baik teologi, fiqh, hadits atau yang lain yang ditulis untuk memenuhi10
 
 Historis/Ketegangan Teologi-Filsafat 
Farabi ketika menulis
Fî Mâ Yasih wa Mâ Lâ Yasih min Ahkâmal-Nujûm
untuk memenuhi permintaan Abu Ishaq Ibrahim ibnAbdullah, seorang gubernur yang gandrung pada ilmuastronomi.
Tidak adakah pengaruh kekuasaan dalamgagasan-gagasan yang ditulis tersebut?
4.
Adanya perbedaan metodologi. Seperti dipaparkan, teologidan filsafat menggunakan metode pemikiran yang berbeda,yang pada gilirannya mendorong munculnya sikap yang khaspada masing-masing kelompok; filsafat cenderung terbukadan rasional sedang teologi menjadi tertutup dan doktriner,ditambah dengan tuntutan kesetiaan total dan
truth claim
dariagama (teologi) yang dianut, yang semua itu membuat teologisemakin tertutup dan militan.Persoalan
truth claim
memang tidak dapat dan tidak perludihindarkan. Agama atau teologi atau bahkan sebuah gagasantanpa truth claim ibarat pohon tidak berbuah sehingga menjadikurang menarik. Tanpa truth claim, sebuah agama, teologi atausebuah aliran pemikiran akan menjadi sebuah bentuk kehidupan(
form of life
) atau bentuk mazhab yang
distinctive
yang tidakmemiliki kekuatan simbolik bagi para pengikutnya.
Akan tetapi,truth claim yang difahami secara mentah dan emosional jugabanyak menimbulkan masalah. Adanya ketegangan, perselisihan,pertikaan dan bahkan peperangan antara komunitas agama,aliran pemikiran dan bahkan antar partai politik adalah lebihdikarenakan adanya
truth claim
yang difahami secara sempit,mentah dan emosional [.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar